MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERBUDAYA,TERMULIA DAN
PENGEMBAN NILAI-NILAI MORAL
BABI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia sangatlah komplek, begitu pula hubungan yang
terjadi pada manusia sangatlah luas. Hubungan tersebut dapat terjadi antara manusia
dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan makhluk hidup yang ada di
alam, dan manusia dengan Sang Pencipta. Setiap hubungan tersebut harus berjalan
seimbang. Selain itu manusia juga diciptakan dengan sesempurna penciptaan,
dengan sebaik-baik bentuk yang dimiliki.
Manusia juga harus bersosialisasi dengan lingkungan, yang merupakan pendidikan awal dalam suatu interaksi sosial. Hal ini menjadikan manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan yang berlandaskan ketuhanan. Karena dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban. Sehingga norma-norma dalam lingkungan berjalan dengan harmonis dan seimbang. Agar norma-norma tersebut berjalan haruslah manusia di didik dengan berkesinambungan dari “dalam ayunan hingga ia wafat”, agar hasil dari pendidikan –yakni kebudayaan– dapat diimplementasikan dimasyaakat.
Pendidikan sebagai hasil kebudayaan haruslah dipandang sebagai “motivator” terwujudnya kebudayaan yang tinggi. Selain itu pendidikan haruslah memberikan kontribusi terhadap kebudayaan, agar kebudayaan yang dihasilkan memberi nilai manfaat bagi manusia itu sendiri khususnya maupun bagi bangsa pada umumnya.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa kualitas manusia pada suatu negara akan menentukan kualitas kebudayaan dari suatu negara tersebut, begitu pula pendidikan yang tinggi akan menghasilkan kebudayaan yang tinggi. Karena kebudayaan adalah hasil dari pendidikan suatu bangsa.
<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
<!--[endif]-->
Manusia juga harus bersosialisasi dengan lingkungan, yang merupakan pendidikan awal dalam suatu interaksi sosial. Hal ini menjadikan manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan yang berlandaskan ketuhanan. Karena dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban. Sehingga norma-norma dalam lingkungan berjalan dengan harmonis dan seimbang. Agar norma-norma tersebut berjalan haruslah manusia di didik dengan berkesinambungan dari “dalam ayunan hingga ia wafat”, agar hasil dari pendidikan –yakni kebudayaan– dapat diimplementasikan dimasyaakat.
Pendidikan sebagai hasil kebudayaan haruslah dipandang sebagai “motivator” terwujudnya kebudayaan yang tinggi. Selain itu pendidikan haruslah memberikan kontribusi terhadap kebudayaan, agar kebudayaan yang dihasilkan memberi nilai manfaat bagi manusia itu sendiri khususnya maupun bagi bangsa pada umumnya.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa kualitas manusia pada suatu negara akan menentukan kualitas kebudayaan dari suatu negara tersebut, begitu pula pendidikan yang tinggi akan menghasilkan kebudayaan yang tinggi. Karena kebudayaan adalah hasil dari pendidikan suatu bangsa.
<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
<!--[endif]-->
B. Tujuan
Adapun maksud dan tujuan
dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas dari mata
kuliah ilmu budaya dasar, juga bertujuan antara lain :
1. Mengetahui kebutuhan dasar manusia
2. Mengetahui kaitan antara manusia sebagai makhluk budaya dengan kemanusiaan
3. Mengetahui etika dan estetika
4. Mengetahui maksud dari memanusiakan manusia
5. Mengetahui masalah-masalah kebudayaan dan solusinya
1. Mengetahui kebutuhan dasar manusia
2. Mengetahui kaitan antara manusia sebagai makhluk budaya dengan kemanusiaan
3. Mengetahui etika dan estetika
4. Mengetahui maksud dari memanusiakan manusia
5. Mengetahui masalah-masalah kebudayaan dan solusinya
BABII
PEMBAHASAN
A. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK YANG BERBUDAYA
Kebudayaan Berasal Dari
Kata Sansekerta “BUDDHAYAH “ , yang merupakan bentuk jamak dari kata
“BUDDHI” yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat
diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budhi atau akal” Culture, merupakan
istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata
latin “colere” yang berarti mengolah atau mengerjakan (Mengolah tanah atau
bertani). Dari asal arti tersebut yaitu “colere” kemudian “culture” diartikan
sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan merubah alam.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya
tidak lain adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk
menciptakan kebahagiaan, karena yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya
sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu berusaha
menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak menyandang
gelar manusia berbudaya.
Kebudayaan kompleks yang mencakup pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan
serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
Unsur-unsur Kebudayaan
1.
Sistem religi yang meliputi:
sistem kepercayaan
sistem nilai dan pandangan hidup
komunikasi keagamaan
upacara
keagamaan
2.
Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial
yang meliputi: kekerabatan
3.
asosiasi dan perkumpul
sistem kenegaraan
sistem
kesatuan hidu
perkumpulan
3.
Sistem pengetahuan meliputi pengetahuan
tentang:
flora
dan fauna
waktu,
ruang dan bilangan
tubuh
manusia dan perilaku antar sesama manusia
4.
Bahasa yaitu alat untuk berkomunikasi
berbentuk:
Lisan
tulisan
5.
Kesenian yang meliputi:
seni patung/pahat
relief
lukis dan gambar
rias
vokal
musik
bangunan
kesusastraan
drama
6.
Sistem mata pencaharian hidup atau sistem
ekonomi yang meliputi:
berburu dan mengumpulkan
makanan
bercocok tanam
peternakan
perikanan
perdagangan
7.
Sistem peralatan hidup atau teknologi yang
meliputi:
produksi, distribusi,
transportas
peralatan komunikasi
peralatan konsumsi dalam
bentuk wadah
pakaian dan perhiasan
tempat berlindung dan
perumahan
senjata
Etika dan estetika
berbudaya
Etika berasal dari bahasa Yuniani, ethos. Ada 3 jenis makna etika menurut Bertens :
a. Etika dalam arti nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
b. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral ( kode etik)
c. Etika dalam arti ilmu atau ajaran tentang baik dan buruk ( filsafat moral)
Kebudyaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Manusia beretika, akan menghasilkan budaya yang beretika.
Etika berbudaya mengandung tuntutan bahwa budaya yang diciptakan harus mengandung niali-nilai etik yang bersifat universal. Meskipun demikian suatu bidaya yang dihasilkan memenuhi nilai-nilai etik atau tidak bergantung dari paham atau ideologi yang diyakini oleh masyarakat.
Estetika dapat dikatakan sebagi teori tentang keindahan atau seni, Estetika berkaitan dengan nilai indah-jelek.
Etika berasal dari bahasa Yuniani, ethos. Ada 3 jenis makna etika menurut Bertens :
a. Etika dalam arti nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
b. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral ( kode etik)
c. Etika dalam arti ilmu atau ajaran tentang baik dan buruk ( filsafat moral)
Kebudyaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Manusia beretika, akan menghasilkan budaya yang beretika.
Etika berbudaya mengandung tuntutan bahwa budaya yang diciptakan harus mengandung niali-nilai etik yang bersifat universal. Meskipun demikian suatu bidaya yang dihasilkan memenuhi nilai-nilai etik atau tidak bergantung dari paham atau ideologi yang diyakini oleh masyarakat.
Estetika dapat dikatakan sebagi teori tentang keindahan atau seni, Estetika berkaitan dengan nilai indah-jelek.
B. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK TERMULIA
Dari semua spesies
makhluk Tuhan yang ada di alam semesta ini, manusia adalah makhluk yang paling
mulia. Pernyataan ini bukan pernyataan “isapan jempol”. Pernyataan itu
diungkapkan langsung oleh yang menciptakan manusia dan juga yang menciptakan
seluruh makhuk, yaitu Allah, Rabbul ‘alamin. Jadi, ga perlu diragukan
bos! Untuk lebih yakin, silahkan baca Q.S. al-Isrâ/17: 70 (“Dan sungguh
telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di
lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan
mereka atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan
yang sempurna.”)
Sebagai bukti, banyak hal yang bisa kita
ungkapkan untuk nunjukin bahwa manusia ini sejak awal memang sudah didesain
oleh Tuhan untuk menjadi makhluk termulia. Kesatu, dalam catatan penciptaan
alam semesta, manusia adalah makhluk terakhir yang diciptakan oleh Tuhan. Tapi
hebatnya, begitu sosok manusia tercipta (Adam as), makhluk-makhluk “senior”
yang lebih dulu menghuni “surga” justeru diperintahkan tunduk dan memberi
hormat kepada Adam. Rekam jejak peristiwa ini terangkum dalam beberapa ayat di
sekian surah dalam al-Qur’an (lih. Q.S. al-Baqarah/2: 34; al-A‘râf/7: 11;
al-Isrâ’/17: 61; al-Kahfi/18: 50; Thâha/20: 116). Tak ayal, perintah Tuhan ini
menuai protes. Sampai-sampai Tuhan membuka “forum dialog” bagi yang keberatan
atas perintah-Nya itu. Lewat rekaman peristiwa ini, Tuhan mendeklarasikan bahwa
manusia memiliki sejumlah kelebihan sehingga ia menjadi makhluk yang “lebih
baik” daripada para seniornya, maka ia patut dihormati.
Bukti laen. Seturut pernyataan Tuhan, Ia
menciptakan alam semesta ini adalah untuk kemaslahatan hidup manusia. “Tidakkah
kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa
yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu
lahir dan batin...” Q.S. Luqmân/31:20 (lihat juga. Q.S.
Ibrâhim/14:32-33; an-Nahl/16:12; al-Hajj/22:65; al-Jâtsiyah/45:12-13). Semua
yang ada di langit dan di bumi “ditundukkan” oleh Tuhan demi kepentingan
manusia. Semuanya harus tunduk pada kepentingan dan kemaslahatan manusia, dan
manusia bisa “memanfaatkan” mereka semuanya. Nah, justeru karena inilah,
nantinya ada manusia yang kebablasan menerima hak kuasa ini. Ada yang
merasa dia menjadi pemilik alam semesta dan bebas melakukan apa saja terhadap
alam ini. Lupa bahwa alam ini masih milik Tuhan; lupa kalo Pada saat
yang sama Tuhan juga melarang kita melakukan kerusakan di atas bumi ini. Tapi gimana
pun juga, dengan “ditundukkannya” alam ini oleh Tuhan untuk kepentingan
manusia, memberi makna manusia memang tercipta “lebih baik” daripada makhluk
lain di alam semesta ini.
Manusia, sejak awal penciptaannya sudah dilantik oleh Tuhan
sebagai wakil-Nya. Dalam bahasa agama, manusia adalah khalifah Tuhan di atas
bumi ini (Lih. Q.S. al-Baqarah/2: 30: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata
kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya aku menciptakan khalifah di atas bumi’.
Para malaikat berkata, ‘Apakah Engkau akan menciptakan di atas bumi itu sosok
yang akan membuat kerusakan di bumi itu dan akan menumpahkan darah? Padahal
kami senantiasa menyucikan dan memuji-Mu’. Allah berfirman (kepada para
malaikat itu), ‘Sungguh Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”).
Ayat ini sangat dahsyat kawan. Allah tidak hanya melantik manusia sebagai
wakil-Nya (khalîfah fil ‘ardh), tetapi sekaligus memberi “garansi” bahwa
manusia ini adalah sosok yang tepat. Ketika para malaikat yang hadir dalam
“upacara pelantikan” itu meragukan kapabilitas sosok khalifah yang akan
mewakili Tuhan di bumi, serta merta Tuhan berfirman: “innî a‘lamu mâ lâ
ta‘lamûn” (Sungguh Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui),
C. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENGEMBAN NILAI-NILAI MORAL
Kendatipun diakui bahwa nilai-nilai moral itu
pada lazimnya tumbuh dan berkembang didasarkan atas norma-norma dan
aturan-aturan yang berlaku secara universal di tengah-tengah masyarakat tetapi
juga mesti diakui bahwa dilemma dan prblematika moral juga tumbuh selain dari
perkembangan internal psikis dan pisik yang tengah berlangsung pada diri anak,
juga stimuli dinamika interaksi sosial anak dengan lingkungan di luar dirinya.
Bahkan untuk yang terakhir ini pada masa tertentu lebih mendominasi
penumbuhkembangan nilai-nilai moral anak dan tidak jarang akan menenggelamkan
nilai-nilai moral yang telah dimiliki anak pada masa-masa sebelumnya, atau
bentuk perilaku menyimpang lainnya.
Persoalan yang menarik dalam konteks penumbuhkembangan
nilai-nilai moral bagi anak didik bahwa penumbuhkembangan nilai-nilai moral
pada anak didik ternyata tidak hanya sebatas mengupayakan dan menciptakan
bentuk-bentuk interaksi sosial yang sangat kondusif dan positif bagi
tumbuhkembangnya nilai-nilai moral dalam kehidupan anak yang akhirnya bermuara
pada perilaku moral dalam kehidupan keseharian mereka. Namun yang juga sama
pentingnya, bahkan lebih penting dan memiliki arti yang amat strategis dari
yang pertama, adalah menciptakan kemampuan bagi anak-anak didik secara cerdas
mampu memahami dan menemukan nilai-nilai moral dalam dinamika interaksi
sosialnya yang penuh dengan tantangan dan tamparan moral, terutama pada
kondisi-kondisi sosial yang dinilai tidak kondusif bagi penumbuhkembangan
nilai-nilai moral.
Saat ini anak sangat mudahnya berinteraksi
dengan kondisi-kondisi sosial yang boleh jadi sangat bertentangan dengan
nilai-nilai moral, yang boleh jadi juga anak telah menyerap nilai-nilai amoral
dengan tanpa disaringnya sebagai akibat interaksi sosialnya yang sudah
sedemikian terbuka tanpa mengenal batas dan tempat.
Kecuali kondisi interaksi sosial yang sangat
terrbuka seperti disebutkan di atas, diakui pula bahwa model pendidikan moral “
bag of vertues” tidak pula dapat dinapikan begitu saja oleh model
pembelajaran klarifikasi nilai, karena bagaiman pun juga aturan-aturan dan
norma-norma nilai moral sangat dibutuhkan anak dalam pencarian nilai yang
sedang mereka usahakan atau dapat menumbuhkan nilai-nilai moral dalam diri
mereka. Akan tetapi pendidikan model. bag of vertues ini sebagaimana
diterapkan selama ini dengan tanpa menyentuh dan mengetahui perkembangan
kognitif anak, maka model ini akan menjadikan nilai-nilai moral yang diberikan
hanya dalam bentuk pengetahuan moral yang mesti dipikulnya. Akibatnya, tidak
jarang pada saat tertentu akan melahirkan pemberontakan pada diri anak,
terutama setelah disulut oleh keragaman sosial yang melecehkan nilai-nilai
moral yang selama ini telah diakuinya. Jadi, persoalan yang perlu diperhatikan
dalam konteks dinamika perkembangan moral anak seperti hal di atas adalah
bagaimana nantinya anak mampu membuat putusan-putusan moral melalui
pemikirannya yang cerdas tentang nilai-nilai moral yang dihadapinya.Dalam
konteks seperti ini lah suatu metoda epistemik yang dapat menjadikan anak mampu
secara cerdas dan bertanggung jawab menentukan pilihan-pilihan nilai-nilai
moral untuk kebaikan dan kebajikan dirinya, masyarakat dan Tuhannya.
Kecuali tantangan epistemologi nilai yang mesti diberikan pada
anak, juga tantangan psiko-sosial anak tidak pula dapat diabaikan. Anak-anak
remaja khususnya pada masa ini telah mengalami perubahan yang sangat drastis
dalam perkembangan psikis mereka termasuk perkembangan moral. Turiel 20 misalnya
mengatakan bahwa issu moral tidak ditentukan oleh aturan-aturan sosial atau
konsensus sosial, tetapi oleh faktor-faktor yang inheren dalam hubungan sosial.
Lebih lanjut dikatakannya, bahwa konsep individu tentang keyakinan distruktur
oleh konsep organisasi sosial yang telah mapan, sementara pemahaman individu
tentang moral didasari pada konsep kesejahteraan dan hak-hak seseorang
sekaligus juga ditentukan oleh konsep-konsep keadilan.
Kendatipun terlihat bahwa pendapat di atas membedakan pemahaman
antara keyakinan dan moral, namun yang tidak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai
moral sangat terkait dengan interaksi sosial individu dengan lingkungannya.
Bahkan peranan orang tua dan guru dalam perkembangan moral pada remaja ini
tidak jarang digantikan oleh interaksi sosialnya dengan teman sebayanya.
Berkoiz berdasarkan penelitiannya melaporkan bahwa pada masa remaja, alasan
moral dari teman sebaya lebih menggoda, lebih meyakinkan dan lebih mendorong
bagi anak dari pada alasan pada orang tua dan guru.
Berkaitan dengan perkembangan psiko-sosial anak, John Dewey juga
berpendapat bahwa anak akan menjadi lebih bermoral ketika ia telah mampu
menilai situasi yang didahului oleh kemampuannya berperilaku sesuai dengan
standar masyarakat atau kelompoknya. Begitu pula anak akan menjadi lebih
rasional ketika ia telah berperilaku berdasarkan kebutuhan-kebutuhan fisiknya.
Gejala dinamika moral yang didasarkan pada psiko-sosial dalam
diri remaja juga melahirkan sikap antagonistik internal dalam diri mereka,
terutama ketika berhadapan dengan dilemma moral antara larangan, otoritas dan
hukuman. Dalam situasi seperti ini, remaja biasanya banyak menggunakan
alasan-alasan yang lebih berorientasi.
Dari paparan di atas terlihat bahwa dinamika internal psikis
anak dalam aspek perkembangan moral mengalami kompleksitas yang luar biasa.
Dinamika seperti ini selain didesak oleh perkembangan natural yang terjadi
dalam diri anak, juga kuatnya stimulus eksternal sebagai akibat interaksi anak
dengan lingkungan di luar dirinya. Keadaan seperti ini menjadikan perkembangan
moral dalam diri anak cukup problematis dan dilematis. Tidak jarang anak pada
masa ini akan sangat mudah melanggar nilai-nilai moral yang telah dimilikinya
setelah mereka didesak oleh interaksi sosial dan kebutuhan fisiknya seperti
diungkap di atas. Satu sisi pada saat ini peranan orang tua atau guru telah
mulai ditinggalkan oleh anak kecuali orang tua bersedia melakukan dialog
tentang isu-isu moral atau saling menghargai dan kerja sama serta mengembangkan
pola berpikir induktif.24
Dari uraian di atas, yang perlu menjadi perhatian adalah
bagaimana menyikapi dinamika dan dilemma moral yang terjadi pada anak dalam
rangka menumbuhkembakan nilai-nilai moral dalam diri mereka. Penanaman
nilai-nilai moral melalui bag of vertues sungguh mendapat tantangan dari
anak pada masa ini, karena nilai-nilai moral yang telah dimiliki anak ketika ia
memasuki interaksi sosial yang lebih terbuka dan bebas.boleh jadi dalam
interaksi sosial tersebut, anak menemui nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai
moral yang telah dimilikinya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
kebudayaan itu hanya
dimiliki oleh masyarakat manusia;
kebudayaan itu tidak diturunkan
secara biologis melainkan diperoleh melalui proses belajar; dakebudayaan itu
didapat, didukung dan diteruskan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Manusia, sejak awal penciptaannya sudah dilantik oleh Tuhan
sebagai wakil-Nya. Dalam bahasa agama, manusia adalah khalifah Tuhan di atas
bumi ini (Lih. Q.S. al-Baqarah/2: 30: “Dan ingatlah ketika
Tuhanmu berkata kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya aku menciptakan khalifah di
atas bumi’. Para malaikat berkata, ‘Apakah Engkau akan menciptakan di atas bumi
itu sosok yang akan membuat kerusakan di bumi itu dan akan menumpahkan darah?
Padahal kami senantiasa menyucikan dan memuji-Mu’. Allah berfirman (kepada para
malaikat itu), ‘Sungguh Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”).
moralitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam
pengembangan eksistensialitas manusia, bahkan tidak berlebihan untuk dikatakan
bahwa eksistensialitas manusia itu pada prinsipnya adalah moralitas, sedemikian
rupa dari perspektif ini dapat dikatakan pula moralitas merupakan inti dari
eksistensialitas manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Isfahani,
Raghib, al-Zari`a ila Makarim al-Syari`a, Abu Yazid al-`Ajami (ed),
(Kairo: Dar al-Wafa`, 1987)
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1996)
Bertens, K, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1994)
Bigge, Morris L., Learning Theories For Teachers, (New York:
Harper & Row Publisher
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking