Maandag 29 April 2013

MAKALAH MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERBUDAYA,TERMULIA DAN PENGEMBAN NILAI-NILAI MORAL


MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK BERBUDAYA,TERMULIA DAN PENGEMBAN NILAI-NILAI MORAL

BABI
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kehidupan manusia sangatlah komplek, begitu pula hubungan yang terjadi pada manusia sangatlah luas. Hubungan tersebut dapat terjadi antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam, manusia dengan makhluk hidup yang ada di alam, dan manusia dengan Sang Pencipta. Setiap hubungan tersebut harus berjalan seimbang. Selain itu manusia juga diciptakan dengan sesempurna penciptaan, dengan sebaik-baik bentuk yang dimiliki.
Manusia juga harus bersosialisasi dengan lingkungan, yang merupakan pendidikan awal dalam suatu interaksi sosial. Hal ini menjadikan manusia harus mempunyai ilmu pengetahuan yang berlandaskan ketuhanan. Karena dengan ilmu tersebut manusia dapat membedakan antara yang hak dengan yang bukan hak, antara kewajiban dan yang bukan kewajiban. Sehingga norma-norma dalam lingkungan berjalan dengan harmonis dan seimbang. Agar norma-norma tersebut berjalan haruslah manusia di didik dengan berkesinambungan dari “dalam ayunan hingga ia wafat”, agar hasil dari pendidikan –yakni kebudayaan– dapat diimplementasikan dimasyaakat.
Pendidikan sebagai hasil kebudayaan haruslah dipandang sebagai “motivator” terwujudnya kebudayaan yang tinggi. Selain itu pendidikan haruslah memberikan kontribusi terhadap kebudayaan, agar kebudayaan yang dihasilkan memberi nilai manfaat bagi manusia itu sendiri khususnya maupun bagi bangsa pada umumnya.
Dengan demikian dapat kita katakan bahwa kualitas manusia pada suatu negara akan menentukan kualitas kebudayaan dari suatu negara tersebut, begitu pula pendidikan yang tinggi akan menghasilkan kebudayaan yang tinggi. Karena kebudayaan adalah hasil dari pendidikan suatu bangsa.
<!--[if !supportLineBreakNewLine]-->
<!--[endif]-->




B. Tujuan
Adapun maksud dan tujuan dari penyusunan makalah ini selain untuk memenuhi salah satu tugas dari mata kuliah ilmu budaya dasar, juga bertujuan antara lain :
1. Mengetahui kebutuhan dasar manusia
2. Mengetahui kaitan antara manusia sebagai makhluk budaya dengan kemanusiaan
3. Mengetahui etika dan estetika
4. Mengetahui maksud dari memanusiakan manusia
5. Mengetahui masalah-masalah kebudayaan dan solusinya

















BABII
PEMBAHASAN


A. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK YANG BERBUDAYA
Kebudayaan Berasal Dari Kata Sansekerta “BUDDHAYAH “ , yang merupakan bentuk jamak dari  kata “BUDDHI” yang berarti  budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budhi atau akal” Culture, merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya dengan kebudayaan, berasal dari kata latin “colere” yang berarti mengolah atau mengerjakan (Mengolah tanah atau bertani). Dari asal arti tersebut yaitu “colere” kemudian “culture” diartikan sebagai segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah dan merubah alam.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya tidak lain adalah makhluk yang senantiasa mendayagunakan akal budinya untuk menciptakan kebahagiaan, karena yang membahagiakan hidup manusia itu hakikatnya sesuatu yang baik, benar dan adil, maka hanya manusia yang selalu berusaha menciptakan kebaikan, kebenaran dan keadilan sajalah yang berhak menyandang gelar manusia berbudaya.
Kebudayaan  kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Unsur-unsur Kebudayaan
1.    Sistem religi yang meliputi:
sistem kepercayaan
      sistem nilai dan pandangan hidup
      komunikasi keagamaan
      upacara keagamaan
2.    Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial yang meliputi:                                          kekerabatan
3.    asosiasi dan perkumpul                                                                                                         
sistem kenegaraan
      sistem kesatuan hidu
      perkumpulan         
3.    Sistem pengetahuan meliputi pengetahuan tentang:
      flora dan fauna
      waktu, ruang dan bilangan
      tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia
4.    Bahasa yaitu alat untuk berkomunikasi berbentuk:
Lisan
     tulisan
5.    Kesenian yang meliputi:
seni patung/pahat
relief
lukis dan gambar
rias
vokal
musik
bangunan
kesusastraan
drama
6.    Sistem mata pencaharian hidup atau sistem ekonomi yang meliputi:
berburu dan mengumpulkan makanan
bercocok tanam
peternakan
perikanan
perdagangan
7.    Sistem peralatan hidup atau teknologi yang meliputi:
produksi, distribusi, transportas
peralatan komunikasi
peralatan konsumsi dalam bentuk wadah
pakaian dan perhiasan
tempat berlindung dan perumahan
senjata
Etika dan estetika berbudaya
Etika berasal dari bahasa Yuniani, ethos. Ada 3 jenis makna etika menurut Bertens :
a. Etika dalam arti nilai-nilai atau norma yang menjadi pegangan bagi seseorang atau kelompok orang dalam mengatur tingkah laku.
b. Etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral ( kode etik)
c. Etika dalam arti ilmu atau ajaran tentang baik dan buruk ( filsafat moral)

Kebudyaan merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia. Manusia beretika, akan menghasilkan budaya yang beretika.

Etika berbudaya mengandung tuntutan bahwa budaya yang diciptakan harus mengandung niali-nilai etik yang bersifat universal. Meskipun demikian suatu bidaya yang dihasilkan memenuhi nilai-nilai etik atau tidak bergantung dari paham atau ideologi yang diyakini oleh masyarakat.

Estetika dapat dikatakan sebagi teori tentang keindahan atau seni, Estetika berkaitan dengan nilai indah-jelek.
B. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK TERMULIA
Dari semua spesies makhluk Tuhan yang ada di alam semesta ini, manusia adalah makhluk yang paling mulia. Pernyataan ini bukan pernyataan “isapan jempol”. Pernyataan itu diungkapkan langsung oleh yang menciptakan manusia dan juga yang menciptakan seluruh makhuk, yaitu Allah, Rabbul ‘alamin. Jadi, ga perlu diragukan bos! Untuk lebih yakin, silahkan baca Q.S. al-Isrâ/17: 70 (“Dan sungguh telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, dan Kami lebihkan  mereka atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna.”)
Sebagai bukti, banyak hal yang bisa kita ungkapkan untuk nunjukin bahwa manusia ini sejak awal memang sudah didesain oleh Tuhan untuk menjadi makhluk termulia. Kesatu, dalam catatan penciptaan alam semesta, manusia adalah makhluk terakhir yang diciptakan oleh Tuhan. Tapi hebatnya, begitu sosok manusia tercipta (Adam as), makhluk-makhluk “senior” yang lebih dulu menghuni “surga” justeru diperintahkan tunduk dan memberi hormat kepada Adam. Rekam jejak peristiwa ini terangkum dalam beberapa ayat di sekian surah dalam al-Qur’an (lih. Q.S. al-Baqarah/2: 34; al-A‘râf/7: 11; al-Isrâ’/17: 61; al-Kahfi/18: 50; Thâha/20: 116). Tak ayal, perintah Tuhan ini menuai protes. Sampai-sampai Tuhan membuka “forum dialog” bagi yang keberatan atas perintah-Nya itu. Lewat rekaman peristiwa ini, Tuhan mendeklarasikan bahwa manusia memiliki sejumlah kelebihan sehingga ia menjadi makhluk yang “lebih baik” daripada para seniornya, maka ia patut dihormati.
Bukti laen. Seturut pernyataan Tuhan, Ia menciptakan alam semesta ini adalah untuk kemaslahatan hidup manusia. “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk (kepentingan)mu dan menyempurnakan nikmat-Nya untukmu lahir dan batin...” Q.S. Luqmân/31:20  (lihat juga. Q.S. Ibrâhim/14:32-33; an-Nahl/16:12; al-Hajj/22:65; al-Jâtsiyah/45:12-13). Semua yang ada di langit dan di bumi “ditundukkan” oleh Tuhan demi kepentingan manusia. Semuanya harus tunduk pada kepentingan dan kemaslahatan manusia, dan manusia bisa “memanfaatkan” mereka semuanya. Nah, justeru karena inilah, nantinya ada manusia yang kebablasan menerima hak kuasa ini. Ada yang merasa dia menjadi pemilik alam semesta dan bebas melakukan apa saja terhadap alam ini. Lupa bahwa alam ini masih milik Tuhan; lupa kalo Pada saat yang sama Tuhan juga melarang kita melakukan kerusakan di atas bumi ini. Tapi gimana pun juga, dengan “ditundukkannya” alam ini oleh Tuhan untuk kepentingan manusia, memberi makna manusia memang tercipta “lebih baik” daripada makhluk lain di alam semesta ini.
Manusia, sejak awal penciptaannya sudah dilantik oleh Tuhan sebagai wakil-Nya. Dalam bahasa agama, manusia adalah khalifah Tuhan di atas bumi ini (Lih. Q.S. al-Baqarah/2: 30: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya aku menciptakan khalifah di atas bumi’. Para malaikat berkata, ‘Apakah Engkau akan menciptakan di atas bumi itu sosok yang akan membuat kerusakan di bumi itu dan akan menumpahkan darah? Padahal kami senantiasa menyucikan dan memuji-Mu’. Allah berfirman (kepada para malaikat itu), ‘Sungguh Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”). Ayat ini sangat dahsyat kawan. Allah tidak hanya melantik manusia sebagai wakil-Nya (khalîfah fil ‘ardh), tetapi sekaligus memberi “garansi” bahwa manusia ini adalah sosok yang tepat. Ketika para malaikat yang hadir dalam “upacara pelantikan” itu meragukan kapabilitas sosok khalifah yang akan mewakili Tuhan di bumi, serta merta Tuhan berfirman: “innî a‘lamu mâ lâ ta‘lamûn” (Sungguh Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui),
C. MANUSIA SEBAGAI MAKHLUK PENGEMBAN NILAI-NILAI MORAL
Kendatipun diakui bahwa nilai-nilai moral itu pada lazimnya tumbuh dan berkembang didasarkan atas norma-norma dan aturan-aturan yang berlaku secara universal di tengah-tengah masyarakat tetapi juga mesti diakui bahwa dilemma dan prblematika moral juga tumbuh selain dari perkembangan internal psikis dan pisik yang tengah berlangsung pada diri anak, juga stimuli dinamika interaksi sosial anak dengan lingkungan di luar dirinya. Bahkan untuk yang terakhir ini pada masa tertentu lebih mendominasi penumbuhkembangan nilai-nilai moral anak dan tidak jarang akan menenggelamkan nilai-nilai moral yang telah dimiliki anak pada masa-masa sebelumnya, atau bentuk perilaku menyimpang lainnya.
Persoalan yang menarik dalam konteks penumbuhkembangan nilai-nilai moral bagi anak didik bahwa penumbuhkembangan nilai-nilai moral pada anak didik ternyata tidak hanya sebatas mengupayakan dan menciptakan bentuk-bentuk interaksi sosial yang sangat kondusif dan positif bagi tumbuhkembangnya nilai-nilai moral dalam kehidupan anak yang akhirnya bermuara pada perilaku moral dalam kehidupan keseharian mereka. Namun yang juga sama pentingnya, bahkan lebih penting dan memiliki arti yang amat strategis dari yang pertama, adalah menciptakan kemampuan bagi anak-anak didik secara cerdas mampu memahami dan menemukan nilai-nilai moral dalam dinamika interaksi sosialnya yang penuh dengan tantangan dan tamparan moral, terutama pada kondisi-kondisi sosial yang dinilai tidak kondusif bagi penumbuhkembangan nilai-nilai moral.
Saat ini anak sangat mudahnya berinteraksi dengan kondisi-kondisi sosial yang boleh jadi sangat bertentangan dengan nilai-nilai moral, yang boleh jadi juga anak telah menyerap nilai-nilai amoral dengan tanpa disaringnya sebagai akibat interaksi sosialnya yang sudah sedemikian terbuka tanpa mengenal batas dan tempat.
Kecuali kondisi interaksi sosial yang sangat terrbuka seperti disebutkan di atas, diakui pula bahwa model pendidikan moral “ bag of vertues” tidak pula dapat dinapikan begitu saja oleh model pembelajaran klarifikasi nilai, karena bagaiman pun juga aturan-aturan dan norma-norma nilai moral sangat dibutuhkan anak dalam pencarian nilai yang sedang mereka usahakan atau dapat menumbuhkan nilai-nilai moral dalam diri mereka. Akan tetapi pendidikan model. bag of vertues ini sebagaimana diterapkan selama ini dengan tanpa menyentuh dan mengetahui perkembangan kognitif anak, maka model ini akan menjadikan nilai-nilai moral yang diberikan hanya dalam bentuk pengetahuan moral yang mesti dipikulnya. Akibatnya, tidak jarang pada saat tertentu akan melahirkan pemberontakan pada diri anak, terutama setelah disulut oleh keragaman sosial yang melecehkan nilai-nilai moral yang selama ini telah diakuinya. Jadi, persoalan yang perlu diperhatikan dalam konteks dinamika perkembangan moral anak seperti hal di atas adalah bagaimana nantinya anak mampu membuat putusan-putusan moral melalui pemikirannya yang cerdas tentang nilai-nilai moral yang dihadapinya.Dalam konteks seperti ini lah suatu metoda epistemik yang dapat menjadikan anak mampu secara cerdas dan bertanggung jawab menentukan pilihan-pilihan nilai-nilai moral untuk kebaikan dan kebajikan dirinya, masyarakat dan Tuhannya.
Kecuali tantangan epistemologi nilai yang mesti diberikan pada anak, juga tantangan psiko-sosial anak tidak pula dapat diabaikan. Anak-anak remaja khususnya pada masa ini telah mengalami perubahan yang sangat drastis dalam perkembangan psikis mereka termasuk perkembangan moral. Turiel 20 misalnya mengatakan bahwa issu moral tidak ditentukan oleh aturan-aturan sosial atau konsensus sosial, tetapi oleh faktor-faktor yang inheren dalam hubungan sosial. Lebih lanjut dikatakannya, bahwa konsep individu tentang keyakinan distruktur oleh konsep organisasi sosial yang telah mapan, sementara pemahaman individu tentang moral didasari pada konsep kesejahteraan dan hak-hak seseorang sekaligus juga ditentukan oleh konsep-konsep keadilan.
Kendatipun terlihat bahwa pendapat di atas membedakan pemahaman antara keyakinan dan moral, namun yang tidak dapat dipungkiri bahwa nilai-nilai moral sangat terkait dengan interaksi sosial individu dengan lingkungannya. Bahkan peranan orang tua dan guru dalam perkembangan moral pada remaja ini tidak jarang digantikan oleh interaksi sosialnya dengan teman sebayanya. Berkoiz berdasarkan penelitiannya melaporkan bahwa pada masa remaja, alasan moral dari teman sebaya lebih menggoda, lebih meyakinkan dan lebih mendorong bagi anak dari pada alasan pada orang tua dan guru.
Berkaitan dengan perkembangan psiko-sosial anak, John Dewey juga berpendapat bahwa anak akan menjadi lebih bermoral ketika ia telah mampu menilai situasi yang didahului oleh kemampuannya berperilaku sesuai dengan standar masyarakat atau kelompoknya. Begitu pula anak akan menjadi lebih rasional ketika ia telah berperilaku berdasarkan kebutuhan-kebutuhan fisiknya.
Gejala dinamika moral yang didasarkan pada psiko-sosial dalam diri remaja juga melahirkan sikap antagonistik internal dalam diri mereka, terutama ketika berhadapan dengan dilemma moral antara larangan, otoritas dan hukuman. Dalam situasi seperti ini, remaja biasanya banyak menggunakan alasan-alasan yang lebih berorientasi.
Dari paparan di atas terlihat bahwa dinamika internal psikis anak dalam aspek perkembangan moral mengalami kompleksitas yang luar biasa. Dinamika seperti ini selain didesak oleh perkembangan natural yang terjadi dalam diri anak, juga kuatnya stimulus eksternal sebagai akibat interaksi anak dengan lingkungan di luar dirinya. Keadaan seperti ini menjadikan perkembangan moral dalam diri anak cukup problematis dan dilematis. Tidak jarang anak pada masa ini akan sangat mudah melanggar nilai-nilai moral yang telah dimilikinya setelah mereka didesak oleh interaksi sosial dan kebutuhan fisiknya seperti diungkap di atas. Satu sisi pada saat ini peranan orang tua atau guru telah mulai ditinggalkan oleh anak kecuali orang tua bersedia melakukan dialog tentang isu-isu moral atau saling menghargai dan kerja sama serta mengembangkan pola berpikir induktif.24
Dari uraian di atas, yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana menyikapi dinamika dan dilemma moral yang terjadi pada anak dalam rangka menumbuhkembakan nilai-nilai moral dalam diri mereka. Penanaman nilai-nilai moral melalui bag of vertues sungguh mendapat tantangan dari anak pada masa ini, karena nilai-nilai moral yang telah dimiliki anak ketika ia memasuki interaksi sosial yang lebih terbuka dan bebas.boleh jadi dalam interaksi sosial tersebut, anak menemui nilai-nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai moral yang telah dimilikinya.
















BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
kebudayaan itu hanya dimiliki oleh masyarakat manusia;
kebudayaan itu tidak diturunkan secara biologis melainkan diperoleh melalui proses belajar; dakebudayaan itu didapat, didukung dan diteruskan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Manusia, sejak awal penciptaannya sudah dilantik oleh Tuhan sebagai wakil-Nya. Dalam bahasa agama, manusia adalah khalifah Tuhan di atas bumi ini (Lih. Q.S. al-Baqarah/2: 30: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, ‘Sesungguhnya aku menciptakan khalifah di atas bumi’. Para malaikat berkata, ‘Apakah Engkau akan menciptakan di atas bumi itu sosok yang akan membuat kerusakan di bumi itu dan akan menumpahkan darah? Padahal kami senantiasa menyucikan dan memuji-Mu’. Allah berfirman (kepada para malaikat itu), ‘Sungguh Aku lebih mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.”).
 moralitas merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam pengembangan eksistensialitas manusia, bahkan tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa eksistensialitas manusia itu pada prinsipnya adalah moralitas, sedemikian rupa dari perspektif ini dapat dikatakan pula moralitas merupakan inti dari eksistensialitas manusia.









DAFTAR PUSTAKA

Al-Isfahani, Raghib, al-Zari`a ila Makarim al-Syari`a, Abu Yazid al-`Ajami (ed), (Kairo: Dar al-Wafa`, 1987)
Bagus, Lorens, Kamus Filsafat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996)
Bertens, K, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994)
Bigge, Morris L., Learning Theories For Teachers, (New York: Harper & Row Publisher

Geen opmerkings nie: